Senin, 03 Oktober 2022

Menutup Bekas Lupa (Konselor Pribadi) Apdon Tanesib, S. Pd

Menutup Bekas LUKA
Semua luka di dalam jiwa kita berbekas, selalu ada "sisa". Terluka itu seperti ada seseorang menusuk hati kita dengan paku. Saat rekan yang melukai meminta maaf, itu baru proses mencabut paku. Tapi selalu ada sisa berupa lobang bekas "paku" tadi. 

Nah, jika bekas lubang itu tidak ditutup dengan baik, maka sisa itu masih sangat terasa. Kalau yang bersangkutan tidak minta maaf, maka lukanya jauh lebih dalam dan sakit. Tapi kalau ada rekonsiliasi, sisa itu bisa dinikmati.

Teman, luka kekecewaan karena penghianatan, luka kemarahan karena penghinaan, atau luka kesedihan karena kehilangan sesuatu yang berharga pasti selalu akan ada sisa. Sisa itu bisa berpengaruh buruk, tapi bisa juga tidak. Sebagian orang ternyata sanggup memaafkan dan menikmati kenangan bekas luka tadi.

Kenangan pahit atas pengalaman buruk memang tidak mudah hilang. Meski tak jarang si pemilik luka itu kadang berpura-pura sudah sembuh. Tapi jika dia bertemu kembali dengan memori atau orangnya secara langsung, luka itu bisa mendadak kambuh.

Hati manusia yang berdosa memang rentan terluka. Apalagi masa kanak-kanak kita besar tanpa kasih sayang dan kekerasan. Gelas cinta kita kecil dan bocor, membuat kita rentan untuk dilukai. Mudah tersinggung, kecewa atau marah. Kita tumbuh menjadi pribadi yang tidak dewasa dan cenderung egois. Situasi inilah yang menambah luka itu mudah kambuh, dan terasa sakit kembali. Bahkan hanya karena faktor pencetus yang biasa.

Karena itu kita perlu berlatih menutup bekas lubang luka tadi. Kalau orang yang menyakiti kita tidak mau minta maaf atau tidak mampu mengubah diri, kita sendiri memulihkannya. Toh itu hati kita sendiri. Hidup kita sendiri. Jangan sampai kita terganggu hanya karena menunggu maaf dari orang tersebut. Jangan kita tersiksa karena terus berharap orang itu berubah. 

Jadilah dewasa, ambil tanggungjawab atas lukamu sendiri. Kita tinggal dengan orang berdosa, yang kapan saja bisa melukai kita. Sebaiknya kita mencegah sebelum kita dilukai. Kalau sudah kadang terluka, kita memutuskan memaafkan, meski orang tersebut tidak minta maaf. Sebab cinta kreatif atau agape memampukan kita untuk memaafkan mereka yang tidak tahu apa yang dia sudah perbuat.

Tapi kalau kita sengaja menyimpan luka, memelihara kemarahan itu maka luka itu tidak akan pernah sembuh. Malah, "sisa nanah" dari bekas luka itu bisa menyemprot ke sana kemari, kena pada orang yang tidak bersalah. Ahh, malangnya kamu yang senang menyimpan kemarahan. Para pendendam tidak akan pernah tinggal diam dengan tenang. Dia dihukum oleh keputusannya sendiri, menyimpan luka yang berubah menjadi kepahitan.

Memaafkan artinya, ingat tapi sudah tidak sakit. Ya, jika saudara memutuskan untuk memaafkan maka saudara mampu menikmati bekas luka tadi. Berani menelusuri kisah anda terluka. Mengambil hikmah dari pengalaman itu. 

Akhirnya dengan bekas luka tadi anda berani mendampingi mereka yang terluka. Sebagai konselor Kita lebih cakap berempati karena pernah merasakan luka yang sama. Jadi tak ada luka yang sia-sia. Itu menjadi investasi menggugah rasa empati bagi sesama.

Makin dalam luka, makin besar daya pengampunan yang dibutuhkan. Kadang kita tak mampu sendiri menjalani luka jiwa yang sangat dalam. Juga butuh proses waktu yang tidak pendek.

Yang penting belajarlah untuk berbagi. Belajar terbuka, karena kita butuh saluran emosi lewat curhat. Berbagi perasaan kemarahan kita. Rela ditolong oleh konselor atau sahabat yang jauh lebih dewasa. Sebab kita butuh respon curhat tadi dari orang yang emosinya matang. 

Kita butuh sahabat yang Menemani kita saat menjalani bekas luka tadi, sampai kita menang dan bebas saat mampu memaafkan.

Salam Kompak untuk kita semua ✍️✍️✍️
Penulis & Editor : Apdon Tanesib, S. Pd

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berkomentarlah dengan baik dan benar πŸ™✍️

Dari Bumi Pertiwi

Dari Bumi Pertiwi Karya : Alinda A. Nopu (Alumni SMPN 3 Amfoang Barat Laut Satap) 10112024